3

A. Pendahuluan


1. Latar Belakang


Untuk dapat memahami al-Quran secara tepat dan efektif maka merupakan keharusan memahami kaidah kebahasaan terlebih dahulu.Hal ini mengandung arti, seseorang pengkaji al-Quran harus memahami arti kata, maksud kalimat hingga apresiasi sastra.Kata adalah seni sehingga dalam memahami kata harus memahami unsur intrinsik kata itu sendiri.

Sering kali dijumpai dalam al-Qur’an lafadh-lafadh yang berbeda namun memiliki arti yang sama atau yang disebut muradif, begitu pula sebaliknya yang disebut Musytarak, Muradif atau mutaradif al-Quran memiliki arti sinonim atau kata-kata yang searti. Namun dalam pembahasan ini apa yang dimaksud sebagai mutaradif al-Quran sebenarnya adalah merupakan kata-kata yang seakan-akan bersinonim namun sebenarnya tidak. Dan inilah maksud istilah yang terkandung di dalam berbagai literatur.Sedangkan lafadh yang musytarak sering kita jumpai seiring dengan siyaqul kalam yang mempengaruhi arti dari lafadh tersebut.

Oleh karena itu makalah ini kami buat guna memahami aspek-aspek yang terdapat pada muradif dan musytarak, sehingga dapat memahami al-Qur’an secara mendalam dan tidak terjadi kesalahan dalam memahami ayat-ayat yang kiranya sulit dipahami.

2. Rumusan Masalah


a. Apa pengertian muradif dan musytarak ?

b. Bagaimana bentuk-bentuk lafadh muradif dan musytarak ?

c. Bagaimana implikasi hukum dan kaidah-kaidah lafadh yang muradif dan musytarak ?

3. Tujuan Makalah

Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk memahami tentangg hal-hal yang termasuk dalam pembahasan muradif dan musytarak meliputi pengertiannya, bentuk-bentuk lafadhnya, implikasi hukum atau dilalahnya, dan kaidah-kaidah yang menyangkut lafadh muradif dan musytarak.

B. Pembahasan


1. Pengertian Muradif dan Musytarak

Menurut KH. Mahfudh Shiddiq (1992:9) yang dimaksud muradif adalah yang memiliki arti satu, akan tetapi memiliki beberapa lafadh. Sedangkan yang dimaksud musytarak adalah yang memiliki lafadh satu, akan tetapi memiliki arti lebih dari satu.

Untuk lebih jelasnya dalam memahami pengertian muradif dan musytarak, dapat maka kami berikan keterangan sebagai berikut :

a. Pengertian Muradif

Yang dimaksud muradif ialah kalimah yang lafadznya banyak, sedangkan artinya sama (sinonim), seperti lafadz al-asad dan al-laiits artinya singa.

b. Pengertian Musytarak

Musytarak ialah lafadz yang digunakan untuk dua arti atau lebih dengan penggunaan yang bermacam-macam. Dalam definisi lain yaitu lafadz yang digunakan dua makna yang berbeda atau lebih . Seperti lafadh quruu’ yang memiliki arti berdeda, ada yang mengartikan sucian, dan haidh-an.

Lafadh musytarak diciptakan untuk beberapa makna yang yang penunjuknya kepada makna itu dengan jalan bergantian, tidak sekaligus.Misalnya lafadh ‘ain yang diciptakan untuk beberapa makna.Yakni mata untuk melihat, mata air, dan lain sebagainya.Bisa dikatakan penggunaan kepada arti-arti tersebut adalah tidak sekaligus (Yahya, 1986:254).

2. Bentuk-bentuk Lafadh Muradif dan Musytarak

Dalam mengetahui bentuk-bentuk lafadh muradif dan musytarak, hal utama yang harus diperhatikan adalah siyaqul kalamnya. Oleh karena itu kami akan memberikan contoh-contoh berikut (Al-Qatthan, 1992:289-290) :

a. Contoh lafadh muradif

Dalam al-Qur’an seorang pembaca akan sering menjumpai lafadh-lafadh muradif seperti berikut :

1) Al-khauf dan khasyah artinya (Takut). Kedua kata ini memiliki arti yang sama akan tetapi jelas sudah menjadi rahasia umum jika kata Al-khasyah adalah lebih tinggi atau lebih kuat makna ketakutannya daripada kata Al-khauf. Seperti contoh berikut :

وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ

“dan orangg-orang yang menghuungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut terhadap hisab yang buruk.”

Dalam ayat ini memberitahukan bahwa sesungguhnya al-khasyhah dikhususkan hanya untuk Allah SWT.sebab lafadh al-khasyah itu berfaedah memuliakan. Sedangkan lafadh al-khouf berfaedah melemahkan atau dha’if.

2) Asy-syukh dan al-bukhl artinya Pelit atau kikir. Al-Askary juga membedakan al-bukhl dengan kata adl-dlann. Dengan adl-dlann yang berarti kecelaannya atau aibnya, namun al-bukhl karena keadaannya. Seperti contoh berikut :

وَمَا هُوَ عَلَى الْغَيْبِ بِضَنِينٍ

“Dan dia (Muhammad) bukanlah orang yang bakhil untuk menerangkan yang ghaib.”

Di sini tidak disebutkan dengan lafadh al-bukhl. Di lain waktu juka dikatakan ad-dhanin bi ilmihi.

3) Hasad dan al-hiqdu (dengki). Seperti pada contoh berikut :

سَيَقُولُ الْمُخَلَّفُونَ إِذَا انْطَلَقْتُمْ إِلَى مَغَانِمَ لِتَأْخُذُوهَا ذَرُونَا نَتَّبِعْكُمْ يُرِيدُونَ أَنْ يُبَدِّلُوا كَلَامَ اللَّهِ قُلْ لَنْ تَتَّبِعُونَا كَذَلِكُمْ قَالَ اللَّهُ مِنْ قَبْلُ فَسَيَقُولُونَ بَلْ تَحْسُدُونَنَا بَلْ كَانُوا لَا يَفْقَهُونَ إِلَّا قَلِيلًا

“Orang-orang badwi yang tertinggal itu akan berkata apabila kamu berangkat untuk mengambil barang rampasan: “biarkanlah kami, niscaya kami mengikutimu” mereka hendak merubah janji Allah. Katakanlah: “Kamu sekali-kali tidak boleh mengikuti kami; demikian Allah telah menetapkan sebelumnya. Mereka mengatakan: “sebenarnya kamu dengki kepada kami. Bahkan mereka tidak mengerti melainkan sedikit sekali.”

4) As-sabil dan at-thariq (jalan). Seperti pada contoh berikut :

وَكَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ الْمُجْرِمِينَ

“Dan demikianlah kami terangkan ayat-ayat al-Qur’an supaya jelas jalan orang-orang yang saleh, dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa.”

b. Contoh lafadh musytarak

Contoh lafadh musytarak yang sering kita jumpai dalam surah al-Baqarah : 288 adalah sebagai berikut :

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.”

Lafadh quru’ dalam ayat tersebut, dalam bahasa Arab bias berarti suci dan bias pula berarti masa haidh.Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengerahkan segala kemampuannya untuk mengetahui arti yang dimaksudkan oleh syari’ dalam ayat tersebut.

Para ulama’ berbeda pendapat dalam mengartikan lafadhquru’ tersebut diatas. Sebagian ulama’ yaitu Imam Syafi’i mengartikannya dengan masa suci. Alasan beliau antara lain adalah karena adanya indikasi tanda muannats pada ‘adad (kata bilangan : tsalatsah) yang menurut kaida bahasa arab ma’dudnya harus mudzakkar, yaitu lafadh al-thuhr (suci). Sedangkan Imam Abu Hanifah mengartikannya dengan masa haidh. Dalam hal ini, beliau beralasan bahwa lafadh tsalatsah adalah lafadh yang khas yang secara dzahir menunjukkan sempurnanya masing-masing quru’ dan tidak ada pengurangan dan tambahan.

3. Implikasi Hukum dan Kaidah-kaidahnya

a. Dilalah muradif

Kaidah yang berkaitan dengan muradif, jumhur ulama’ menyatakan bahwa mendudukkan dua mmiradif pada tempat yang lain diperbolehkan selama hal itu tidak dicegah oleh syari’. Kaidahnya adalah sebagai beikut :

ايقاع المترادفين فى مكان الاخر يجوز اذا لم يقم عليه مانع شرعى

“mendudukkan dua muradif pada tempat yang sama diperbolehkan jika tidak ada mani’ syar’iy.”



Al-Quran adalah mukjizat baik dari sudut lafadh maupun artinya.Oleh karena itu tidak diperbolehkan mengubahnya. Bagi Malikiyah mengatakan bahwa takbir dalam shalat tidak diperbolehkan kecuali “Allahu Akbar”, sedang Syafi’iyah hanya memperbolehkan “Allahu Akbar” atau “Allahul Akbar” sedangkan Hanafiyah memperbolehkan semua lafadh yang semisal dengannya, seperti “Allahul A’dhom”, “Allahul Ajal” dan sebagainya. (https://rudien87.wordpress.com/2010/11/10/ta%E2%80%99wil-dan-nasakh-muradif-dan-musytarak/ diakses pada 30 Maret 2016).

b. Dilalah musytarak
Dalam pnggunaan lafadh musytarak, jumhur ulama’ dari golongan Syafi’iyah, Abu Bakar dan Abu ‘Ali al-Jaba’I memperbolehkan penggunaan musytarak menurut arti yang dikehendaki, atau berbagai makna.Kaidahnya :

استعمال المشترك فى معنييه او معا نيه يجوز

“Menggunakan (lafadh) musytarak menurut dua atau beberapa arti itu diperbolehkan.”

Alas an mereka berdasarkan pada surah al-Hajj : 18 sebagaimana berikut :

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الأرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُومُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ وَكَثِيرٌ حَقَّ عَلَيْهِ الْعَذَابُ وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ

“Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia?dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. dan Barangsiapa yang dihinakan Allah Maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.”

Lafadh yasjudu bisa diartikan menempelkan dahi ke bumi, bias diartikan tunduk. Dan seperti pada surah al-Ahzab : 56 sebagaimana berikut :

إن الله وملائكته يصلون على النبي ياأيها الذين أمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”

Arti lafadh yushalluuna bila datang dari Allah berarti memberikan rahmat, bila dating dari malaikat berarti memintakan ampunan (istighfar) dan bila dari manusia biasa berarti do’a

Sedangkan menurut ulama’ Hanafiyah, Abu Hasyim, Abu Hasan al-Bashri dan ulama’ lainnya berpendapat sebaliknya.Yakni pemakaian lafadh musytarak untuk dua atau beberapa maknanya itu tidak diperbolehkan (Yahya, 1986:257-258).


C. Kesimpulan

Berdasarkan makalah di atas, maka dapat kita tarik kesimpulan sebagaimana berikut :

Yang dimaksud muradif adalah yang memiliki arti satu, akan tetapi memiliki beberapa lafadh. Sedangkan yang dimaksud musytarak adalah yang memiliki lafadh satu, akan tetapi memiliki arti lebih dari satu;

Dalam mengetahui bentuk-bentuk lafadh muradif dan musytarak, hal utama yang harus diperhatikan adalah siyaqul kalamnya;

Kaidah yang berkaitan dengan muradif, jumhur ulama’ menyatakan bahwa mendudukkan dua mmiradif pada tempat yang lain diperbolehkan selama hal itu tidak dicegah oleh syari’;

Dalam pnggunaan lafadh musytarak, jumhur ulama’ dari golongan Syafi’iyah, Abu Bakar dan Abu ‘Ali al-Jaba’I memperbolehkan penggunaan musytarak menurut arti yang dikehendaki, atau berbagai makna.Sedangkan menurut ulama’ Hanafiyah, Abu Hasyim, Abu Hasan al-Bashri dan ulama’ lainnya berpendapat sebaliknya.Yakni pemakaian lafadh musytarak untuk dua atau beberapa maknanya itu tidak diperbolehkan.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qatthan, Manna’ Khalil, Mudzakir AS, 1992.Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Terjemahan, Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa.

Shiddiq, Mahfudh, 1992. Ibanatun Nathiqi Fi Ilmil Manthiqi, Jepara: t.p.

Yahya, Mukhtar, 1986. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam, Bandung: Al-Ma’arif.

https://rudien87.wordpress.com/2010/11/10/ta%E2%80%99wil-dan-nasakh-muradif-dan-musytarak/


Next
This is the most recent post.
Previous
Posting Lama

Posting Komentar

  1. Bagus makalah dan isinya, tapi mohon maaf, saran saya sertakan nama penulis , soalnya itu untuk daftar pustaka. Sebagai penulis yang bertanggung jawab, saran saya tolong cantumkan nama penulis.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Soalnya banyak yang butuh referensi dari google tapi ada penulisnya.

      Hapus
  2. New and used slot machines - Pragmatic Play - AprCasino
    NEW AND septcasino NEW SLOT MACHINES WITH A HIGH 사설 토토 사이트 RTP! herzamanindir For worrione.com the ultimate high-quality gaming experience, Pragmatic Play aprcasino offers all of the

    BalasHapus

 
Top